Penelitian Baru Menemukan Hubungan Mengejutkan Antara Gaya Bermain, Waktu Reaksi, dan Keputusan Strategi Dalam Satu Sesi muncul dari tempat yang tidak terduga: sebuah laboratorium kecil yang biasanya dipakai untuk menguji kelelahan kognitif pada pekerja shift. Namun kali ini, penelitinya mengundang para pemain gim strategi dan aksi untuk menjalani satu sesi bermain yang dirancang ketat—bukan untuk menilai skor, melainkan untuk memetakan bagaimana kebiasaan bermain memengaruhi kecepatan respons dan kualitas keputusan, menit demi menit.
Saya sempat mengikuti salah satu sesi observasi sebagai penulis yang diminta mendokumentasikan prosesnya. Di ruang itu, tidak ada sorak kemenangan atau komentar berlebihan; yang terdengar justru bunyi klik, napas yang ditahan, dan instruksi singkat dari peneliti. Di layar, peserta berganti-ganti antara gim seperti StarCraft II, Valorant, dan Civilization VI, sementara perangkat pelacak merekam waktu reaksi, pola input, dan momen ketika strategi berubah secara drastis.
Desain Studi: Mengukur “Satu Sesi” Secara Serius
Tim peneliti mendefinisikan “satu sesi” sebagai rangkaian bermain tanpa jeda panjang, biasanya 60–90 menit, dengan blok tugas yang sengaja memancing perubahan situasi. Ada fase pembuka untuk pemanasan, fase tekanan tinggi dengan gangguan visual-audio ringan, lalu fase akhir yang menguji konsistensi ketika kelelahan mulai muncul. Yang menarik, mereka tidak hanya mengandalkan catatan permainan, tetapi juga tes mikro di sela-sela pertandingan: respon terhadap stimulus sederhana, pilihan prioritas, dan penilaian risiko.
Untuk menjaga keabsahan, peserta diminta menggunakan pengaturan perangkat yang familier—mouse, papan ketik, sensitivitas, serta resolusi yang biasa dipakai. Di sisi lain, peneliti menstandarkan skenario: peta tertentu, tujuan tertentu, dan pemicu kejadian yang serupa. Hasilnya adalah potret yang rapi tentang bagaimana gaya bermain terbentuk dari kebiasaan, dan bagaimana kebiasaan itu “bernegosiasi” dengan waktu reaksi ketika tekanan meningkat.
Gaya Bermain Agresif vs. Kalkulatif: Bukan Soal Berani atau Tidak
Dalam data, gaya bermain agresif sering tampak sebagai frekuensi tindakan tinggi: banyak keputusan kecil, banyak penyesuaian cepat, dan kecenderungan mengambil inisiatif lebih dulu. Namun penelitian ini menunjukkan agresif bukan sekadar keberanian. Pada beberapa peserta, agresif adalah cara mengurangi beban kognitif: dengan menyerang lebih cepat, mereka menghindari fase perencanaan panjang yang menguras perhatian.
Sebaliknya, gaya kalkulatif terlihat dari jeda keputusan yang lebih panjang dan pola tindakan yang lebih terstruktur. Anehnya, gaya ini tidak selalu menghasilkan keputusan yang lebih “benar” ketika sesi berjalan. Pada menit-menit tertentu, pemain kalkulatif justru terjebak pada evaluasi berulang, sementara pemain agresif mengambil keputusan cukup baik dengan informasi yang tidak lengkap. Di sinilah penelitian mulai terasa “mengejutkan”: kualitas strategi bukan hanya hasil ketelitian, tetapi juga hasil kecocokan gaya dengan kondisi waktu reaksi saat itu.
Waktu Reaksi Tidak Stabil: Ia Berayun Mengikuti Ritme Keputusan
Temuan paling konsisten adalah bahwa waktu reaksi bukan garis lurus yang memburuk seiring waktu. Pada banyak peserta, ada fase “mengencang” di pertengahan sesi: respons membaik ketika mereka sudah masuk ritme, lalu turun lagi ketika beban keputusan menumpuk. Peneliti menyebutnya sebagai efek sinkronisasi, saat otak menyesuaikan prediksi terhadap pola permainan dan membuat respons menjadi lebih otomatis.
Saya menyaksikan seorang peserta yang awalnya tampak lambat, lalu mendadak sangat cepat pada menit ke-20 hingga ke-35. Namun ketika skenario berubah—musuh beralih taktik dan peta memaksa rotasi—waktu reaksinya melambat, bukan karena ia lelah semata, melainkan karena ia harus mengganti model mental. Penelitian ini menegaskan bahwa perubahan strategi memerlukan “biaya” yang bisa terlihat langsung pada milidetik respons.
Momen Beralih Strategi: Titik Kritis yang Menentukan Arah Sesi
Tim peneliti menandai momen beralih strategi sebagai periode ketika pemain mengganti prioritas utama: dari bertahan ke menyerang, dari eksplorasi ke optimalisasi sumber daya, atau dari permainan individu ke koordinasi tim. Di sinilah hubungan gaya bermain dan waktu reaksi menjadi paling jelas. Pemain agresif cenderung beralih strategi lebih sering, tetapi biaya waktu reaksinya lebih kecil karena mereka terbiasa mengambil keputusan cepat dengan toleransi ketidakpastian.
Pemain kalkulatif beralih strategi lebih jarang, tetapi ketika harus beralih, “biayanya” lebih mahal: waktu reaksi melambat dan kesalahan kecil meningkat selama beberapa menit. Dalam catatan observasi, peneliti menuliskan istilah yang mudah dipahami: “terlambat satu langkah.” Bukan karena kurang pintar, melainkan karena sistem keputusan mereka bergantung pada kestabilan rencana, dan pergantian rencana memerlukan restrukturisasi perhatian.
Peran Kebiasaan Mikro: Klik, Rotasi Kamera, dan Prioritas Informasi
Studi ini juga menyorot kebiasaan mikro yang jarang dibahas: seberapa sering pemain memeriksa minimap, seberapa cepat mereka memindai sudut layar, atau seberapa rutin mereka melakukan tindakan “pengunci ritme” seperti rotasi kamera. Kebiasaan ini ternyata berkorelasi dengan stabilitas waktu reaksi. Pemain yang memiliki pola pemindaian informasi yang konsisten cenderung mengalami penurunan respons yang lebih kecil ketika situasi berubah.
Di salah satu sesi gim strategi, ada peserta yang hampir seperti metronom: setiap beberapa detik ia kembali ke panel sumber daya, lalu ke peta, lalu ke unit utama. Ketika terjadi serangan mendadak, ia tidak panik—bukan karena ia sudah tahu, tetapi karena kebiasaan mikro membuat informasi kritis cepat masuk. Peneliti menyimpulkan bahwa strategi besar sering ditopang oleh rutinitas kecil yang tampak sepele, namun berfungsi sebagai “rel” agar keputusan tidak keluar jalur.
Apa Artinya untuk Pemain dan Pelatih: Mengelola Sesi, Bukan Sekadar Latihan
Implikasinya praktis: meningkatkan performa tidak selalu berarti menambah jam latihan, melainkan mengelola struktur satu sesi. Peneliti menyarankan membagi sesi menjadi fase yang jelas: pemanasan untuk sinkronisasi, fase inti untuk eksperimen strategi, lalu fase penutup untuk konsolidasi. Dengan begitu, momen beralih strategi tidak terjadi di saat waktu reaksi sedang rapuh, dan pemain bisa menguji taktik baru tanpa membayar biaya kognitif yang terlalu mahal.
Bagi pelatih tim atau pemain kompetitif, temuan ini membantu menjelaskan mengapa seseorang bisa “panas” di tengah sesi lalu mendadak menurun ketika diminta mengganti peran. Solusinya bukan menuntut kecepatan semata, tetapi melatih transisi: skenario pergantian strategi yang diulang, kebiasaan mikro yang distandarkan, dan jeda singkat untuk mereset perhatian. Penelitian ini, pada akhirnya, menunjukkan bahwa keputusan strategis bukan hanya soal pengetahuan gim, melainkan juga soal kapan pengetahuan itu diaktifkan dalam ritme satu sesi.

